Bahaya Toxoplama bagi wanita hamil
Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondii adalah protozoa obligat
intraselular yang memiliki siklus seksual pada induk semang definitif, yaitu
bangsa kucing dan dua fase aseksual pada induk semang antara, yaitu semua hewan
berdarah panas dan manusia. Toxoplasma gondii dapat menginfeksi sel
inangnya dalam tiga bentuk, yaitu takizoit (bentuk poriferatif), kista (berisi
bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit).
Pada fase akut infeksi, takizoit dapat beredar di dalam tubuh inang
melalui peredaran darah, dan berada dalam cairan tubuh. Individu yang terinfeksi Toxoplasma gondii akan menghasilkan respon imun pada stadium ini,
takizoit diubah menjadi bradizoit yang berkembang biak secara perlahan dalam
sel untuk menghasilkan kista jaringan.
Kista dapat dorman seumur hidup pada jaringan, dan fase kronis infeksi
berlangsung (OIE 2008).
Bentuk Takizoit memiliki bentuk menyerupai
bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4 ‒ 8 mikron, lebar 2 ‒ 4
mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah dan
beberapa organel lain, seperti mitokondria dan badan golgi. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh inang
intermediet dan inang definitif.
Takizoit dapat memasuki tiap sel yang berinti. Kista dibentuk di dalam sel takizoit yang
membelah telah membentuk dinding. Ukuran
kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa bradizoit
dan ada yang berukuran 200 mikron berisi sekitar 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan
seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris. Bentuk kista otak lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot
bentuk kista mengikuti bentuk sel otot. Ookista berbentuk lonjong, berukuran
12,5 mikron. Ookista mempunyai dinding,
berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas
membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut
berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu (CFSPH
2005).
Siklus hidup
Siklus hidup Toxoplasma gondii memiliki dua fase, yaitu fase seksual dan
aseksual pada inang definitif serta fase aseksual pada inang intermediet. Kucing sebagai inang definitif, mendapatkan
infeksi dari makanan yang terkontaminasi ookista maupun dari kista bradizoit
pada jaringan tubuh hewan lain yang dimakannya, seperti tikus. Sporozoit yang berasal dari ookista
bersporulasi ataupun trofozoit dari kista yang ruptur dalam saluran pencernaan
inang definitif dapat berpenetrasi ke dalam sel epitel usus halus inang
definitif. Fase seksual dimulai dengan
stadium skizogoni dimana terjadi multiplikasi trofozoit atau sporozoit (Apsari et al. 2011). Parasit yang telah bermultiplikasi, dapat
keluar sel dan kembali berpenetrasi ke sel epitel lain. Setelah itu, Toxoplasma bermultiplikasi menjadi mikrogamet jantan dan betina,
atau disebut stadium gametogoni hingga menghasilkan generasi baru, yaitu dalam
bentuk ookista. Ookista dikeluarkan
inang definitif ke lingkungan bersamaan dengan feses. Ookista di lingkungan dapat termakan kembali
oleh inang definitif maupun inang intermediet.
Ookista yang telah bersporulasi di lingkungan, memiliki 4
sporozoit. Setelah mencapai saluran
pencernaan inang, sporozoit berpenetrasi ke dalam sel epitel usus halus. Takizoit akan keluar dari sel epitel usus
halus, bermigrasi secara endodyogeni dengan melakukan invasi kedalam monosit
hingga mencapai jaringan tubuh.
Dalam kedua inang, parasit Toxoplasma gondii menyerang otot maupun organ
dengan membentuk ruang yang disebut vakuola. Pada vakuola parasitophorous, bentuk-bentuk
parasit bradyzoites, yang merupakan versi replikasi perlahan-lahan membentuk
kista bradizoit di jaringan tubuh inang, parasit dapat dorman berada di dalam
tubuh inang pada fase tersebut. Parasit
berada di dalam sel, sehingga aman dari sistem kekebalan tubuh inang. Bentuk kista pada jaringan tubuh juga dapat
menjadi sumber perputaran siklus kembali jika jaringan tubuh dikonsumsi oleh
inang lain, contohnya jika kista bradizoit berada pada otot domba dan
dikonsumsi oleh manusia dengan proses pemasakan yang kurang sempurna parasit
ini dapat ditransmisikan ke manusia yang mengonsumsinya. Kista bradizoit bertahan melintasi saluran
pencernaan dan parasit menginfeksi sel epitel usus halus. Parasit dapat keluar dari sel epitel usus
halus melalui peredaran darah dalam bentuk takizoit, dan kembali membentuk
stadium istirahatnya, yaitu kista bradizoit di jaringan.
Toksoplasmosis pada manusia juga
didapatkan dari ookista yang mengkontaminasi bahan pangan baik yang berasal
dari hewan dan sayuran. Toksoplasmosis
dapat terjadi secara kongenial, transmisi Toxoplasma
gondii kepada janin terjadi in utero
melalui plasenta, jika wanita mendapat infeksi primer waktu hamil, takhizoit
dapat terbawa aliran darah hingga menembus barier plasenta. Selain itu, infeksi dapat diperoleh melalui
transplantasi organ tubuh maupun transfusi darah dari donor penderita.
Diagnosa
Diagnosis
toksoplasmosis dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Pertama, pemeriksaan sediaan
mikroskopis, untuk menemukan ookista yang di dalam feses kucing, atau takizoit
didalam eksudat peritoneal atau biakan jaringan, Toxoplasma dapat ditemukan didalam usapan dari irisan jaringan atau
eksudat yang diwarnai . Uji warna masih paling memuaskan sampai saat ini. Pemeriksaan darah atau jaringan tubuh
penderita (histopatologi). Diagnosis
dapat ditegakkan jika ditemukan parasit di dalam jaringan atau cairan tubuh
penderita. Hal ini dilakukan dengan cara
menemukan secara langsung parasit yang diambil dari cairan serebrospinal, atau
hasil biopsi jaringan tubuh yang lainya. Namun diagnosis berdasarkan penemuan parasit
secara langsung jarang dilakukan karena kesulitan dalam hal pengambilan
spesimen yang akan diteliti. Pemeriksaan
serologis dilakukan dengan dasar bahwa antigen toksoplasma akan membentuk
antibodi yang spesifik pada serum darah penderita. Beberapa pemeriksaan serologi yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis toksoplasmosis antara lain: Complement Fixation Test, Dye Test Sabin
Fieldman, Immunoflourescense Assay (IFA), Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA), Polymerase Chain Reaction (PCR).
Metode PCR dapat mendeteksi Toxoplasma
yang berasal dari darah, cairan serebrospinal, dan cairan amnion, merupakan
metode yang relatif singkat dengan sensitivitas yang tinggi (OIE 2008).
Bahaya pada Wanita Hamil
Toksoplasmosis
merupakan zoonosis parasitik yang perlu mendapat perhatian di Indonesia. Beberapa penelitian menunjukan bahwa bahaya
toksoplasmosis terbesar, yaitu pada wanita yang terinfeksi Toxoplasma gondii ketika hamil.
Wanita hamil dapat menularkan Toxoplasma
gondii kepada fetus yang dikandungnya secara transplasental. Transmisi transplasental toksoplasmosis
berada pada stadium takizoit, dimana takizoit dapat melewati barier plasenta
melalui peredaran darah. Takizoit
merupakan bentuk Toxoplasma gondii di
cairan tubuh dan dapat bertahan selama beberapa hari (CFSPH 2005). Infeksi ini jika menyerang fetus cukup fatal
dampaknya. Penelitian yang dilakukan di Rumah
Sakit Dr. Saiful Anwar selama dua tahun (1996-1998), sejumlah 54 kasus (68.35%) dari 79 kasus yang bersedia
diambil sebagai subyek penelitian, 32 kasus (59.26%) mengalami cacat bawaan di daerah
kepala dan wajah, antara lain: congenital
hydrocephalus (15 kasus/ 27.78%), anencephaly (7 kasus/ 12.96%), bibir sumbing dan langit-langit, kelainan daerah wajah dan
mata, masing-masing 3 kasus (5.56%),
cacat yang mengenai berbagai sistem organ 5 kasus (9.26%), mikrosefalus dan ensefalokel
masing-masing 1 kasus (1.85%).
Sejumlah 54 ibu yang melahirkan bayi
cacat tersebut ternyata 57.7%
menunjukkan IgG Toxoplasma
positif. Pada penelitian lebih lanjut
didapatkan seroprevalensi toksoplasma pada ibu yang mengalami abortus spontan
adalah 53.48%. Kenyataan itu menunjukkan kejadian
toksoplasmosis pada manusia di Malang cukup tinggi, yaitu lebih dari 50% (Sardjono 2009). Dampak toksoplasmosis tidak hanya akan
dirasakan dalam bidang kesehatan, tetapi juga di bidang sosio ekonomi. Infeksi T. gondii pada hewan ternak dapat menurunkan produktivitas
yang sangat berarti dan kerugian materi yang besar.
Gejala klinis toksoplasmosis umumnya tidak jelas
dan tidak spesifik, maka prevalensi toksoplasmosis biasanya didasarkan atas
hasil pemeriksaan serologik dengan hasil yang sangat bervariasi, rata-rata 50%. Survei seroepidemiologi di Asia
Tenggara menunjukkan angka 26.7% di kepulauan Taiwan, 14.7% di Thailand, 11.3% di Filipina, dan 42.9% di Indonesia. Tampaknya ada
pengaruh etnis yang membedakan prevalensi toksoplasmosis pada penduduk Indonesia
yang lebih tinggi dibanding penduduk kepulauan Taiwan, Thailand dan Filipina. Seroprevalensi toksoplasmosis pada 1693
penduduk di Jakarta yang berumur 20-85 tahun adalah 70%, tanpa perbedaan laki-laki (71%) dan perempuan (69%) (Sardjono 2009).
Komentar
Posting Komentar