Identifikasi Babesia sp. pada anjing
Agen penyebab
Babesiosis pada anjing
disebabkan oleh spesies B. gibsoni dan
B. canis. Keduanya merupakan
parasit dari filum apicomplexa dengan trofozoit dapat berbentuk bulat atau
berbentuk buah pir. B. gibsoni
memiliki ukuran panjang 2-5 um, sedangkan B.
canis berukuan lebih kecil dibandingkan B.
gibsoni. Kedua parasite ini hidup di dalam sel darah merah anjing.
Gambar
1. Merozoit Babesia canis (kiri) dalam
sel darah merah. Merozoit Babesia gibsoni (kanan) memiliki bntuk yang serupa
dengan babesia canis (Nolan 2004)
|
Siklus hidup
Vektor dari penyakit ini adalah
caplak anjing Rhipicephalus sanguineus.
Sporozoit parasit ditemukan di alveoles kelenjar ludah caplak. Setelah caplak menggigit
inang, sporozoit masuk ke dalam tubuh anjing dan menginfeksi eritrosit anjing.
Dalam vakuola dalam sitoplasma sel darah merah parasit membagi melalui
pembelahan biner menghasilkan merozoit. Kemudian, ketika caplak yang berperan
sebagai vector kembali mengigit inang dan memperoleh makan darah, parasit
diambil oleh vektor yang kemudian membentuk gamet dan menghasilkan sporozoit.
Pada anjing transmisi juga mungkin terjadi melalui penularan vertikal parasit
yang ditularkan dari ibu ke anaknya (rute yang sebenarnya tidak diketahui,
tetapi mungkin adalah transplasenta) (Nolan 2004).
Gambar 2. Siklus hidup Babesia canis dan Babesia gibsoni
|
Distribusi
Geografis
Babesiosis adalah penyakit penting di seluruh dunia dan pertama
kali diakui pada tahun 1888 sebagai
penyebab demam, anemia hemolitik,
hemoglobinuria dan kematian pada anjing. Babesia pada
anjing secara
morfologis diklasifikasikan ke dalam bentuk besar dan kecil.
Babesia vogeli paling rendah patogenitasnya. Hal ini terjadi di Perancis, Australia, Jepang, Brazil, Afrika Selatan dan Amerika Serikat dan biasanya
menyebabkan penyakit ringan pada
anjing dewasa, tetapi dapat berakibat parah pada beberapa anak anjing (Matjila et al. 2004). Babesia canis
tersebar luas di Eropa, di Perancis
ditemukan 400 000 kasus babesiosis dan Babesia
sp.
di Asia memiliki patogenisitas menengah. Penyebaran Babesia canis di Indonesia pernah dilaporkan di Provinsi Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Halmahera, Irian Jaya, Lombok, Bali
dan Jawa. Vektor utama Babesia canis
di Indonesia adalah caplak Rhipicephalus
sanguineus yang menghisap darah pada anjing (Soekardono 1989). Sedangkan
untuk Babesia gibsoni penyebarannya
di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Namun Babesia gibsoni telah ditemukan di Filipina dan Cina (Flores 2008).
Patogenesa
Setelah
terinfeksi, respon imun biasanya dihasilkan.
Sistem kekebalan tubuh tidak dapat sepenuhnya menghilangkan infeksi, dan hewan yang tetap hidup bersifat sakit kronis dan berperan sebagai
karier. Respon imun humoral yang tidak
maksimal umum terjadi
pada anak anjing yang
lebih muda dari 8 bulan. Transmisi
transplasenta B. canis dapat terjadi dan dapat mengakibatkan anak
anjing lemah (Camacho 2004). Dalam satu contoh, infeksi B. canis
didiagnosis pada anak anjing greyhound berumur 36 jam yang lahir dari
induk yang positif terinfeksi babesiosis (Brandao 2004). Faktor seperti usia
dari
inang dan tanggap kebal yang dihasilkan terhadap parasit atau vektor kutu inang adalah hal yang
penting (Welzl 2001). Eritrosit yang terinfeksi parasit memasukkan antigen
ke permukaan eritrosit dan menginduksi antibodi dalam tubuh
inang
yang menyebabkan pecahnya eritrosit yang terinfeksi oleh sistem mononuklear fagosit
(Brandao
2004). Dua sindrom yang dapat
terlihat pada infeksi Babesia sp.
adalah ditandai dengan anemia
hemolitik dan terjadinya
beberapa disfungsi organ yang
dapat menjelaskan
sebagian dari tanda-tanda klinis
yang diamati pada hewan yang terinfeksi
babesiosis. Menurut VSSF (2005) Protozoa Babesia sp. umumnya ditularkan oleh kutu dan mencapai aliran darah
ketika kutu menghisap darah inang. Setelah masuk ke dalam tubuh inang, parasit
menempel ke eritrosit, kemudian masuk kedalam eritrosis melalui proses
endositosis, mengalami pematangan, dan kemudian mulai bereproduksi melalui
reproduksi aseksual, yang menghasilkan
merozoit. Eritrosit yang terinfeksi akhirnya pecah dan merozoit dirilis
menyerang eritrosit lain. Patogenesis utama yang terkait dengan Babesiosis
adalah anemia hemolitik. Anemia hemolitik adalah hasil dari cedera eritrosit
langsung yang disebabkan oleh parasit dan juga oleh mekanisme imun. Selain itu,
sebagian besar anjing dengan Babesiosis memiliki trombositopenia. Gejala klinis
yang timbul dari penyakit ini antara anak anjing umumnya lebih rentan terhadap
Babesiosis dan dan memiliki risiko terbesar dari penyakit ini dan dapat
menimbulkan kematian. Pada kasus anemia progresif dapat menyebabkan terjadinya
hemoglobinemia, hemogloinuria, bilirubinemia dan icterus.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat terlihat
ketika inang terinfeksi Babesia sp.
adalah demam, lemas dan anemia yang bersifat akut. Selain itu dapat menimbulkan
kerusakan pada organ-organ seperti pada ginjal menyebabkan terjadinya gagal ginjal,
pada otak dapat menyebabkan babesiosis cerebral, trombositopenia, ikterus,
sindrom kegagalan dalam pernafasan, kegagalan jantung, dan pancreatitis (Kettner
2003).
Diagnosis
Mikroskopi merupakan tes diagnostik yang sederhana dan paling mudah untuk dokter hewan
mengidentifikasi
babesiosis dengan menggunakan pewarnaan giemsa. Selain itu pemeriksaan
pada babesiosis dapat menggunakan PCR dan ELISA. Meskipun PCR merupakan alat diagnosis yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinngi. Namun penggunaannya untuk mendiagnosa Babesiosis masih terbatas dan belum
digunakan secara luas. Penggunaan PCR dilakukan di Australia untuk membedakan
B. vogeli dan B. gibsoni. Sebagian besar negara eropa menggunakan PCR untuk
membedakan antara spesies B. canis,
B. gibsoni, dan B. vogeli (Birkenheuer
2003).
Ras Hewan Peka
dan Vektor
Anjing merupakan
inang yang peka terhadap babesiosis. Seluruh anjing dilaporkan mengalami
penyakit babesiosis di berbagai negara (Matjila et
al. 2008). Hal ini
berkaitan dengan vektor penyebaran babesia
sp. yang sulit untuk dibersihkan. Predisposisi yang menyebabkan Babesia sp.
menjadi infektif adalah umur hewan dan status imun hewan. Hewan muda lebih peka
terhadap serangan babesiosis. Hal ini dikarenakan imunitas tubuh belum
terbentuk sempurna. Sedangkan status imun yang menurun menyebabkan pembuatan RBC
tidak berjalan lancar sehingga kejadian anemia meningkat. Vektor pada Babesia canis di Indonesia adalah caplak
Rhipicephalus sanguineus. Namun di
negara-negara eropa vektor penyebab babesiosis lebih beragam. Vektor Babesia canis di eropa adalah Dermacentor reticularis dan vektor Babesia gibsoni adalah Haemaphysalis bispinosa (Schoeman 2009).
Identifikasi
Babesia sp. pada Ulas Darah Anjing
Identifikasi Babesia sp. pada ulas darah anjing
dilakukan dengan metode pewarnaan giemsa. Pewarnaan diawali dengan membuat
preparat ulas darah kemudian preparat di keringkan. Kemudian methanol
diteteskan diatas gelas objek dan didiamkan selama 10 menit. Setelah itu
methanol dibuang dan ditiriskan. Selanjutnya pewarna giemsa diteteskan ke gelas
objek didiamkan selama 20 menit. Setelah itu pewarna giemsa di bilas dengan air
mengalir. Preparat di keringkan untuk selanjutnya di lihat hasilnya di bawah
mikroskop dengan perbesaran 100x menggunakan bantuan bantuan minyak emersi.
Hasil yang didapatkan dari 10 sampel yang diperiksa, menunjukkan 1 anjing
positif babesiosis dengan jumlah parasit yang terlihat adalah 4. Pangambilan
sampel dilakukan di lokasi yang sama dengan kandang yang berbeda. Satu hasil
psitif menunjukkan penyebaran Babesia
sp. di lokasi pengambilan sampel dapat dikendalikan sehingga penyebaran Babesia sp. melalui vektor caplak tidak
meluas. Namun perlu dilakukan pengujian lanjut sebagai pembanding infeksi Babesia sp. di lokasi tersebut.
Pengobatan dan
Pengandalian
Pengobatan yang
utama adalah untuk menghilangkan parasit di dalam darah dan mengembalikan
keadaan anjing yang mengalami anemia. Pemberian obat Diminazene aceturate,
trypan blue and imidocarb dipropionate efektif diberikan kepada B. canis. Pada penyakit yang bersifat
ringan sampai dengan sedang hewan dapat kembali sembuh setelah pemberian
antibabesia. Selain mengunakan antibabesia pengendalian vektor penyakit perlu
diperhatikan agar penyebaran babesia
sp. tidak meluas. Pengendalian
terbaik adalah dengan eliminasi atau penghilangan caplak yang menularkan babesia sp. tersebut. Penghilangan caplak tersebut bisa dengan cara rajin
menyisir dan menyikat rambut anjing, memandikan anjing dengan sampoo serta
menggunakan produk yang bisa membunuh atau mnegusir kutu dan caplak contohnya
Selamectin.
Dosis pemberian obat untuk babesiosis adalah sebagai berikut Imidocarb dipropionat pada dosis 7,5 mg/kg diberikan
satu kali atau 7
mg/kg diberikan dua
kali dengan interval pemberian 14 hari
telah terbukti menghilangkan infeksi (Miller et al. 2005). Perhitungan dosis Diminazene harus teliti
karena dosis terapeutik yang rendah, terutama pada
anakan.
Obat diberikan
kembali setelah pengobatan pertama jika masih terjadi infeksi (Miller et al. 2005).
Pemberian obat untuk babesiosis harus diperhatikan karena beberapa obat dapat
menyebabkan toksik pada otak. Tripan blue merupakan obat tertua untuk antibabesia.
Namun di beberapa negara obat ini masih digunakan untuk mengobati penyakit
babesiosis.
Pengobatan pertama yang telah terbukti
efektif terhadap B. gibsoni adalah kombinasi atovaquone dan azitromisin
(Birkenheuer et
al.
2004). Parasit
ini
sangat sulit untuk dibersihkan dengan terapi
konvensional dan anjing biasanya menjadi reservoir dan
bersifat karier. Hewan yang terlihat anemia dan mengalami
komplikasi memerlukan berbagai perawatan suportif,
tergantung pada tingkat keparahan
kasus (Macintire et al. 2002). Transfusi darah dapat diberikan pada anjing yang
mengalami anemia. Pemberian elektrolit perlu diberikan
untuk menambah cairan tubuh dan menyetabilkan tubuh. Cairan elektrolit yang
diberikan seperti kalium klorida dan
diuretik pada kasus gagal ginjal akut
(Conrad
et al. 1991). Alat
bantu respirasi sering diperlukan
untuk kasus dengan edema paru akibat
sindrom gangguan pernapasan akut.
Prognosa
Prognosis umumnya cukup baik, kurang lebih 85-90% dari kasus yang terjadi
menunjukkan anjing masih hidup ketika
dilakukan pengobatan. Hal ini bergantung pula pada tingkat perawatan dan banyaknya Babesia
sp.
di
dalam tubuh (Keller et al. 2004). Penggunaan transfusi darah memiliki dampak besar pada kelangsungan hidup hewan yang mengalami anemia berat. Kasus babesiosis dengan komplikasi pada
organ lain seperti kasus gagal ginjal akut, sindrom gangguan pernapasan akut atau Babesiosis serebral memiliki
prognosis paling buruk dan
kematian dapat mecapai 50%. Di dalam beberapa kasus mendekati 100%, meskipun pengobatan yang dilakukan telah
sangat intensif (Welzl et al.
2001).
DAFTAR PUSTAKA
[NCBI]
National Center for Biology Information. 2014. Taxonomy browser : Babesia.
[Internet]. [tersedia pada : http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/Taxonomy /Browser/wwwtax.cgi?id=5867] [diunduh 7
Oktober 2014].
Birkenheuer
AJ, Levy MG, Breitschwerd EB. 2003.
Development and evaluation of a seminested PCR for detection and
differentiation of Babesia gibsoni(Asian genotype) and B. canisDNA in canine
blood samples. J Clin Microbiol. 1:
4172–4177.
Brandão
LP, Hagiwara MK, Myiashiro SI. 2003. Humoral immunity and reinfection
resistance in dogs experimentally inoculated with Babesia canisand either
treated or untreated with imidocarb dipropionate. Vet Parasitol. 114: 453–465.
Camacho
AT, Guitián FJ, Pallas. 2004. Azotemia and mortality among Babesia microti-like
infected dogs. J Vet Intern Med.18:
141–146.
Conrad
P, Thomford J, Yamane I. 1991. Hemolytic anemia caused by Babesia
gibsoniinfection in dogs. J Am Vet Med
Assoc. 199: 601–605.
Flores
MJC, Claveria FG, Verdida R, Xuan X, Igarashi I. 2008. First detection of
Babesia gibsoniinfection in Philippine stray dogs by immunochromatographic test
(ICT). Veterinarski arhiv. 78:
149-157.
Kettner
F, Reyers F, Miller D. 2003. Thrombocytopenia in canine babesiosis and its
clinical usefulness. J S Afr Vet Assoc.
74 :63–68.
Macintire
DK, Boudreaux MK, West GD. 2002. Babesia gibsoniinfection among dogs in the
southeastern United States. J Am Vet Med Assoc. 220: 325–329.
Matjila
PT, Penzhorn BL, Bekker CP, Nijhof AM, Jongejan, F. 2004. Confirmation of
occurrence of Babesia canis vogeliin domestic dogs in South Africa. Vet er-inary Parasitology. 122:119–125.
Miller
DB, Swan GE, Lobetti RG, Jacobson LS. 2005. The pharmacokinetics of diminazene
aceturate after intramuscular administration in healthy dogs. Journal of the South African Veterinary
Association. 76:146–150.
Nolan 2004. Babesia gibsoni. [internet] [tersedia
pada : http://cal.vet.upenn.edu/projects/dxendopar/parasitepages/protozoa/babesiagibs.html] [diunduh 8 Oktober 2014].
Schoeman JP. 2009. Canine babesiosis. Onderstepoort
Journal of Veterinary Research, Vol(76):59–66.
Sigit
SH, Koesharto FX, Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Wirawan IA, Chalidaputra M,
Rivai M, Priyambodo S, Yusuf S, et al. 2006. Hama Permukiman
Indonesia. Bogor (ID): UKPHP FKH IPB.
Skotarczak B. 2005. Babesiosis as a
disease of people and dogs. Molecular diagnostics: a review. Veterinarni
Medicina. Vol (5): 229–235.
Soekardono S. 1989. IMPORTANT PROTOZOAN DISEASES OF
ANIMALS IN INDONESIA. Bulletin Penelitian Kesehatan. 17 : 154-163
Veterinary
Specialist of South Floridia. 2005. Babesia Canis. Emergency critical care service. 24: 7.
Welzl,
C, Leisewitz, AL, Jacobson, LS, et al.: Systemic inflammatory response syndrome
and multiple-organ damage/dysfunction incomplicated canine babesiosis. J S Afr
Vet Assoc. 72, 2001, 158–162.
Komentar
Posting Komentar