Penyakit pada sapi perah : Hipofungsi Ovari
Hipofungsi ovari adalah keadaan
dimana tidak terjadi pertumbuhan folikel dan corpus luteum pada ovarium
ditandai dengan permukaan ovarium yang licin. Hipofungsi ovari terjadi
karena gagalnya kelenjar hipofise anterior untuk memproduksi FSH (follicle stimulating hormone) dalam
jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan pembentukan folikel di ovarium (Dalam Toelihere,
1997). Umumnya sapi yang mengalami hipofungsi ovarium tidak menunjukkan gejala estrus lebih dari 60 hari setelah melahirkan (Hafez, 2000 ; Opsomer et al., 2000).
Gejala klinis ovarium yang
mengalami hipofungsi ovari saat pemeriksaan per rektal adalah ovarium berbentuk
agak bulat, berukuran normal atau agak kecil dibandingkan ukuran normal, terasa
rata, licin dan tidak menunjukkan aktifitas pertumbuhan folikel maupun korpus
luteum (Dalam Toelihere, 1997). Penyebab terjadinya hipofungsi ovari adalah faktor
manajemen yang berhubungan erat dengan nutrisi. Kekurangan nutrisi akan
mempengaruhi fungsi hipofisa anterior sehingga produksi dan sekresi hormon Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing
Hormone (LH) rendah, yang menyebabkan ovarium tidak berkembang atau
mengalami hipofungsi (Noakes et al., 2001).
Selain itu defisiensi protein, fosfor, dan vitamin A dapat menyebabkan terjadinya
hipofungsi ovari (Dalam Toelihere, 1997).
Pengamatan kasus di lapangan pada
sapi yang mengalami hipofungsi ovari adalah sekitar kandang terlihat kotor,
begitupun dengan keadaan kandang dan sapi yang kotor. Selain itu, pakan yang
diberikan kepada sapi memang tidak tentu, tergantung kesediaan pakan di
lapangan. Hal ini diperparah dengan tidak diberikannya vitamin atau suplemen
untuk sapi. Jika dilihat dari keadaan lingkungan sekitar, hipofungsi ovari
dapat disebabkan mutu pakan yang rendah.
Terapi yang diberikan adalah vitamin
A, D, dan E. Vitamin A mencegah terjadinya kelahiran pedet yang lemah dan
retensio plasenta. Vitamin D membantu mencegah siklus estrus yang tidak
teratur. Vitamin E dibutuhkan untuk memelihara reproduksi normal (Susanti,
2013). Pemberian hormon estradiol pada pengobatan hipofungsi ovari merupakan
pengobatan yang kurang tepat. Estradiol merupakan hormon yang menghambat kerja
FSH dan meningkatkan LH. Pada kasus hipofungsi ovari tidak terjadi aktifitas
ovarium.
Menurut Pohan dan Thalib (2010)
pemberian progesteron dengan dosis tunggal 62.5 mg secara IM atau perpaduan
antara progesteron 62.5 mg dilanjutkan 3 hari kemudian dengan pemberian
estradiol 1.0 mg secara IM dapat menimbulkan estrus dan kebuntingan pada sapi
yang mengalami hipofungsi ovari. Dasar fisiologi dari penggunaan progesteron
adalah melalui reaksi umpan balik negatifnya terhadap hipotalamus yang bersifat
sementara dan setelah efek hambatan hilang, maka akan terjadi sekresi FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) dalam jumlah yang
lebih banyak dari biasanya disebut dengan LH surge. Dengan demikian akan terjadi proses pertumbuhan dan
pematangan folikel menjadi follikel de
graaf sehingga terjadi ovulasi.
Selain
itu, Menurut Pemayun (2010) pemberian GnRH dapat menimbulkan estrus pada sapi
dengan siklus estrus yang normal. Hal ini dilihat dari kadar progesteron yang
mengalami peningkatan setalah hari ke-4 terjadi estrus dan mengalami penurunan
pada hari ke-16 setelah terjadinya estrus. Gonadotrophin
Releasing Hormone (GnRH) adalah hormon yang disekresikan oleh hipotalamus
dan telah secara luas digunakan untuk
menginduksi aktivitas ovarium.
DAFTAR PUSTAKA
Hafez
ESE. 2000. Anatomy of Male Reproduction. “In
Reproduction in Farm Animals”. 7thed. Lippincott William &
Wilkins. Philadelphia.
Noakes
, D. E., H. A. Geoffrey., J. P. Timothy, C. W. E. Gary. 2001. Arthur’s Veterinary Reproduction And Obstetrics, 8thEd. Elsevier
Health Sciences . New York.
Opsomer,
G., Y. T. Grohn, J. Hertl., M. Coryn., H. Deluyker., A. Kruif. 2000. Risk
factors for post partum ovarian dysfunction in high producing cows in Belgium:
a field study. Theriogenology. 53:
841–857.
Pemayun,
T. G. K. 2010. Kadar progesterone akibat pemberian PMSG dan GnRH pada sapi
perah yang mengalami anestrus postpartum. Buletin
Veteriner Udayana. 2: 85-91.
Pohan,
A. and C. Talib. 2010. Aplikasi hormone progesterone dan estrogen
pada betina induk sapi bali anestrus postpartum yang digembalakan di Timor
Barat, Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner : 18-24.
Susanti,
E. 2013.
Manajemen reproduksi sapi perah pada peternakan rakyat. [terhubung berkal]. http://elysusanti-vet.blogspot.com/2013/05/manajemen-reproduksi-sapi-perah.html.
[4
November 2015].
Komentar
Posting Komentar