Penyakit pada sapi perah : Hipokalsemia di Bayongbong



Anamnesa
Sapi melahirkan pada tanggal 12 Februari 2015, tepatnya setelah asar. Awalnya sapi tidak mau makan, dan terlihat lemah. Pukul 08.00 WIB sapi ambruk dan tidak dapat mengangkat badannya. Dokter hewan datang pukul 12.00 WIB ke tempat peternak. Kondidi sapi setelah ambruk disajikan pada Gambar 1.

 
Keadaan sapi yang ambruk
Definisi
Milk Fever (paresis puerperalis) adalah manifestasi klinis dari hipokalsemia post partus. Hipokalsemia post partus adalah penyakit yang memiliki dampak besar tehadap perekonomian peternak. Hipokalsemia didefisikan sebagai penurunan kadar kalsium dalam darah karena produktivitas susu yang tinggi. Total kalsium di dalam darah berkisar diantara 10-12  mg/dL dengan rata-rata 8 mg/dL. Hipokalsemia terjadi pada semua umur sapi, namun pada umumnya banyak menyerang sapi dengan umur produksi susu yang tinggi (5 tahun) (Rododtits et al. 2000).
Milk fever adalah penyakit gangguan metabolisme yang terjadi pada sapi betina menjelang atau saat atau sesudah melahirkan yang menyebabkan sapi menjadi lumpuh. Milk Fever ditandai dengan menurunnya kadar kalsium (Ca) dalam darah. Ca berperan penting dalam fungsi system syaraf. Jika kadar Ca dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan sistem syaraf akan terganggu, sehingga fungsi otak pun terganggu dan sapi akan  mengalami kelumpuhan. Kasus milk fever terjadi pada 48 – 72 jam setelah sapi  melahirkan, sapi yang mengalami gangguan ini biasanya sapi yang telah beranak lebih dari tiga kali. Sapi berumur 4 tahun dan produksi tinggi (lebih dari 10 liter) lebih rentan mengalami milk fever. Selain itu, angka kejadian milk fever 3-4 kali lebih tinggi pada sapi yang dilahirkan dari induk yang pernah mengalami milk fever.

Kausa
Penyebab umum dari hipokalsemia adalah penurunan kalsium di dalam darah secara tiba-tiba. Kadar normal kalsium di dalam darah dapat mencapai 12 mg/dL. Pada kasus hipokalsemia kalsium di dalam darah menurun hingga mencapai angka 2-5 mg/dL (Rododtits et al. 2000).

Gejala Klinis
            Hipokalsemia biasanya terjadi sekitar 72 jam post partus. Hipokalsemia dapat menyebabkan penyakit lain seperti distokia, prolapsus uteri, retesio sekundinarum, metritis, dan mastitis. Ada 3 fase gejala klinis pada hipokalsemia.
            Gejala klinis fase pertama sapi masih dapat berdiri dan berjalan. Namun sapi menjadi lebih sensitif. Sapi mengalami ataksia ringan, terlihat adanya tremor di bagian flank dan otot-otot tricep. Sapi sering menggerakkan telinga dan kaki belakang. Jika terapi kalsium tidak dilakukan maka sapi akan mengalami gejala klinis tipe ke-2 (Barrington 2011).
Pada fase ke-2 sapi tidak dapat berdiri, namun masih mempertahankan diri pada posisi sternal recumbency. Sapi mengalami anoreksia, cermin hidung yang kering, ekstremitas dingin, dan teperatur tubuh di bawah normal. Ketika dilakukan auskultasi terjadi tachycardia, dan penuerunan intensitas dari suara jantung. Denyut nadi lemah, otot polos paralisis diikuti dengan saluran pencernaan yang statis. Saluran pencernaan yang menjadi statis dapat menyebabkan bloat, kesulitan untuk defekasi, dan kehilangan refleks dari springter anii. Ketidakmampuan untuk urinasi dapat menyebabkan distensi kantung kemih. Sapi sering mengarahkan kepalanya ke bagian flank, dan ketika kepala mengalami ekstensio maka bentuk huruf S dapat teramati (Barrington 2011).
Pada fase ke-3 sapi kehilangan kesadaran dan berujung pada koma.sapi sudah tidak dapat mempertahankan posisi sternal recumbency. Hal ini dikarenakan kelemahan otot secara keseluruhan. Kelemahan otot menyebabkan sapi tidak merespon pada berbagai stimulus, dan menyebabkan bloat yang hebat. Sapi yang sudah mengalami fase ke-3 gejala klinis hipokalsemia akan mati pada beberapa jam kemudian (Barrington 2011).
Pada kasus hipokalsemia yang dialami peternak anggota KUD Mandiri Bayongbong adalah hipokalsemia dengan gejala klinis fase ke-2. Ketika dokter hewan datang sapi sudah ambruk dengan posisi sternal recmbency. Keadaan sapi kurus dan terlihat lemah. Pemeriksaan suhu menunjukkan subtermal yaitu 37.2 oC, tonus springter anus sudah lemah. Jantung mengalami tachycardia dengan frekuensi jantung 124 kali/menit.

Patogenesa
            Kebutuhan Ca pada akhir masa kebuntingan cukup tinggi sehingga jika Ca dalam pakan tidak mencukupi, maka Ca di dalam tubuh akan dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan Ca pada awal laktasi juga meningkat, karena setiap kg air susu mengandung 1.2 – 1.4 gram Ca. Sedangkan Ca dalam darah adalah 8 – 10 mg/dl (Thirunavukkarasu et al. 2010), sehingga sekresi susu yang mendekati 2 kg akan memerlukan semua Ca yang terdapat dalam darah. Jika kadar Ca dalam darah tidak dapat dipertahankan, maka sapi akan mengalami paresis puerpuralis atau milk fever.
Homeostasis Ca darah diatur oleh kalsitonin, hormon paratiroid (parathormon) dan vitamin D3 (DeGaris & Lean 2008). Pemberian pakan tinggi Ca pada periode kering dapat merangsang pelepasan kalsitonin dari sel-sel parafolikuler kelenjar tiroid, sehingga menghambat penyerapan Ca dalam tulang oleh parathormon. Hiperkalsemia (tingginya kadar Ca dalam darah) akan menghambat sekresi parathormon dan merangsang sekresi (pengeluaran) kalsitonin. Kalsitonin ini dapat menurunkan konsentrasi Ca darah dengan cara mengakselerasi penyerapan oleh tulang (Goff 2006). Kejadian ini cenderung menghambat adaptasi normal sapi terhadap kekurangan Ca pada permulaan partus dan laktasi yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Kelumpuhan ini karena kadar Ca dalam darah di bawah 5 mg/dl. Berkurangnya Ca menurut Goff (2006) disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
  1. Jumlah mineral, Ca dan P (Phosphor) dalam pakan yang berlebihan, akibatnya akan menurunkan jumlah vitamin D yang berpengaruh pada jumlah Ca dalam darah.
  2. Menurunnya absorpsi Ca dari usus dan mobilisasi mineral tersebut dari tulang akibat dari kerja hormon estrogen dan steroid kelenjar adrenal
  3. Ca dan P dari dalam darah berpindah ke kolostrum saat sapi menjelang melahirkan.
  4. Efek dari hormon tirokalsitonin. Hormon ini berfungsi untuk mengatur mukosa sel-sel usus dalam menyerap dan mengatur kadar Ca dalam darah.
  5. Nafsu makan menurun biasa terjadi pada 8-16 jam menjelang melahirkan, akibatnya ketersediaan kalsium yang siap diserap juga menurun.
  6. pH pakan dan  kadar lemak yang tinggi
  7. Sapi-sapi tua akan mengalami penurunan penyerapan Ca.
  8. Ketidak seimbangan komposisi Ca dan P dalam pakan. Perbandingan yang ideal  adalah Ca:P = 1:1.

Diagnosa
Diagnosa pada kasus hipokalsemia dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala fisik yang dapat dilihat dan dirasakan. Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan dengan cara pemeriksaan temperatur, pemeriksaan tonus springter anus, dan keadaan otot-otot terhadap stimulus yang diberikan. Parameter dilakukannya pemeriksaan otot adalah mengangkat ekor. Apabila ekor dihibaskan setelah diangkat maka hipokalsemia belum terlalu parah. Pemeriksan laboratorium dilakukan dengan melihat kadar kalsium di dalam darah. Pada keadaan normal kalsium di dalam darah mencapai 8 – 12 mg/dL. Namun pada kasus hipokalsemia kadar kalsium di dalam darah menurun hingga > 5 mg/dL.

Pengobatan
Pengobatan dengan menggunakan preparat kalsium merupakan cara yang paling sering digunakan. Pada umumnya preparat obat yang digunakan adalah calcium borogluconate, yaitu untuk mengembalikkan kadar calcium yang normal dalam darah. (Horst dan Goff 2003). Pengobatan dengan preparat kasium melalui intravena lebih baik karena tidak diikuti dengan penurunan produksi susu dan terhindar darikemungkinan mastitis. Pengobatan kalsium dilakukan secara intravena dengan volume 200-500 L. Namun pengobatan secara intravena harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menimbulkan tachycardia dan aritmia jantung yang mengakibatkan kematian (Anteneh  et al. 2012).
Pengulangan pengobatan dengan subkutan dan intramuskuler untuk menghindari adanya kegagalan jantung. Tanda-tanda kalsium bekerja adalah sapi mengeluarkan sendawa, mengeluarkan gas rumen, dan sapi mengalami defekasi. Selain itu tanda yang dapat diamati adalah gerakan telinga dan mata kembali normal dalam waktu beberapa menit. Respiasi kembali normal, peningkatan denyut jantung namun kecepatan menutrun, diikuti dengan nafsu makan yang kembali baik (Horst dan Goff 2003).
Pengobatan yang dilakukan di KUD Mandiri Bayongbong dengan menggunakan calcimex® 500 mL dengan kandungan calcium borogluconate. Lima menit setelah dilakukan pengobatan suhu sapi meningkat menjadi 37.5 oC. Gerakan kepala lebih aktif dan sapi mulai sering mengerak-gerakan telinga. Sepuluh menit setelah pengobatan sapi berdiri dan langsung memakan pakan yang ada di tempat pakan. Kemudian sapi defekasi dan urinasi. Hal ini menandakan otot-otot di dalam tubuh mulai bekerja.

Pencegahan
            Pemberian ransum yang mengandung kalsium rendah dan fosfor tinggi selama kering kandang. Cara paling efektif untuk mencegah hipokalsemia yaitu memberikan ransum dengan kandungan kalsium yang rendah selama dua minggu terkahir kebuntingan sehingga sistem mobilisasi kalsium dirangsang bagi pengeluaran yang cukup ke dalam ambing. Mengurangi konsumsi kalsium selama kering kandang akan mengaktifkan metabolisme kalsium. Disamping itu, juga menganjurkan agar sapi yang sudah beranak diberaikan kalsium dalam jumlah tinggi untuk homeostasis. Pemberian magnesium selama kering kandang perlu ditingkatkan untuk mengaktifkan hormon paratiroid dan vitamin D. Hormon paratiroid dan vitamin D merupakan faktor yang dapat menyebabkan hipokalsemia (Barrington 2011).
Pemberian ransum kepada sapi saat partus harus diperhatikan dengan baik. konsentrat dengan kandungan lemak yang tinggi akan mengganggu fungsi normal dari rumen dan menurunkan nafsu mkan. Sebaliknya serat kasar yang cukup dapat merangsang aktivitas kontraksi rumen. Rumen yang statis dapat menyebabkan absorbsi kalsium menurun (Barrington 2011).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyakit pada sapi perah : Endometritis

Rhipicephalus sanguineus pada Anjingdan Pengendaliannya

Penggunaan, cara kerja dan efek samping Atropin, Xylazine, dan Ketamin sebagai Obat Anastesi Total pada Kucing dan Anjing