Penyakit pada sapi perah : Corpus Luteum Persisten



Corpus luteum persisten (CLP) adalah corpus luteum yang memiliki ukuran besar dan tetap berfungsi menghasilkan progesteron dalam waktu yang lama. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya mekanisme umpan balik negatif terhadap hipotalamus sehingga sekresi hormon FSH dan LH oleh hipofise anterior dihambat yang berakibat tidak terjadinya pertumbuhan folikel baru pada ovarium. Tidak tumbuhnya folikel baru pada ovarium menyebabkan tidak disekresikannya hormon estrogen dan menyebabkan anestrus dalam waktu yang lama. Gejala klinis yang dapat dilihat adalah anestrus dalam waktu yang lama dan terdapat corpus luteum yang menetap lebih dari satu siklus estrus dengan konsistensi yang keras. (Magata et al., 2012). Menurut Rimayanti (1997) kadar estrogen pada kondisi CLP hanya 0.68 pg/ml, berbeda jauh dibandingkan kondisi normal sebesar 12.95 pg/ml.
Tertahannya korpus luteum sering kali disebabkan oleh gangguan pada uterus seperti pyometra, endometritis, maserasi foetus, dan mumifikasi fetus. Endometrium merupakan tempat pelepasan hormon prostaglandin. Kejadian endometritis dapat menyebabkan terhambatnya pelepasan hormon prostaglandin dari dinding uterus. Prostaglandin berfungsi  sebagai  horman  uterus yang bersifat  luteolitik  yang  menyebabkan regresinya  corpus  luteum. Hambatan pelepasan  prostaglandin  karena  kasus endometritis,  menyebabkan  corpus  luteum  tetap bertahan dan mensekresikan progesteron, sehingga sapi  mengalami  perpanjangan  siklus berahi (Tuasikal et al., 2004).
Terapi CLP dilakukan dengan pemberian PGF2α dan antibiotik yang diencerkan dengan rute intrauterin. Menurut Sheldon et al. (2007) pengobatan CLP dapat dilakukan dengan  pemberian PGF2α, antibiotik, dan GnRH. Pemberian prostaglandin diharapkan dapat meregresi corpus luteum sekaligus menurunkan kadar progesteron. Penurunan progesteron diharapkan dapat menghilangkan hambatan FSH dan LH. Induksi preparat prostaglandin secara intra uterin ataupun intra muskular berdampak positif terhadap terjadinya estrus. Menurut Mustofa dan Mahaputra (2000) pemberian prostaglandin secara intra uterin dapat menurunkan kadar progesteron hingga 0.13 pg/ml pada saat sapi estrus. Pemberian prostaglandin secara intra muskular dapat menurunkan progesteron dari 3.70 ng/ml menjadi 2.58 ng/ml dalam waktu 48 jam setelah pemberian. Pemberian antibiotik dilakukan untuk menghilangkan peradangan uterus sehingga pelepasan prostaglandin pada dinding uterus tidak terhambat.


DAFTAR PUSTAKA

Magata, F., K. Shirasuna., K. Struve., K. Herzog., T. Shimizu., H. Bollwein., A.  Miyamoto. 2012. Gene expressions in the persistent corpus luteum on dairy cattle: distinct profile from the corpora lutea of the estrous cycle and pregnancy.  Jurnal reproduction and development. 58: 445-452.
Mustofa. I., L. Mahaputra. 2000. Penyerentakan birahi sapi pada fase luteal dan hipofungsi ovarium untuk induksi kebuntingan kebar dengan teknik transfer embrio. Media Kedokteran Hewan. 16: 155-160.
Rimayanti. 1997. Pengukutran kadar hormone progesterone dan estrogen dalam deteksi kejadian kegagaln birahi (anestrus) pada sapi-sapi perah di Tuban. Media Kedokteran Hewan. 13: 222-227.
Sheldon, I. M., A. N. Rycroft., C. Zhou. 2004. Association between postpartum pyrexia and uterine bacterial infection in dairy cattle. Vet Rec. 154: 289-293.
Tuasikal, B. J., T. Tjiptosumirat., R. Kukuh. 2004.  Gangguan  reproduksi  sapi  perah  dengan teknik  radio  immunoassay  (RIA)  progesteron. Risalah Seminar  Umiah  Penelitian  dan  Pengembangan  Aplikasi  lsotop  dan Radiasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyakit pada sapi perah : Endometritis

Rhipicephalus sanguineus pada Anjingdan Pengendaliannya

Penggunaan, cara kerja dan efek samping Atropin, Xylazine, dan Ketamin sebagai Obat Anastesi Total pada Kucing dan Anjing